Selamat Datang Di Blog Sulateep

Selamat Datang Di blog ini,,,semoga berkenan di hati anda dan semoga bermanfaat bagi anda...mohon kritik dan sarannya ya,,,matur Suwun,,,,

Jumat, 22 Juli 2011

TRAFICKING


Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :  UNDANG UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG.

BAB I
  KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,  pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
2. Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
3. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.
4. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang.
5. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
6. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
7. Eksploitasi adalah  tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan,  pemerasan, pemanfaatan fisik,  seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan  tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
8. Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.
9. Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya.
10. Pengiriman adalah tindakan memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu tempat ke tempat lain.
11. Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang.
12. Ancaman Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang.
13. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
14. Rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis, dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
15. Penjeratan Utang adalah perbuatan menempatkan orang dalam status atau keadaan menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau keluarganya atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang.


BAB II 
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Pasal 2
(1)       Setiap    orang  yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,  pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2)       Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).



Potret Trafficking di Indonesia


Perkembangan kasus traficking (perdagangan orang) di Indonesia sungguh kian mengkhawatirkan. Dari tahun ke tahun, kasus ini meningkat tajam. Seakan-akan, kasus trafficking di Indonesia diibaratkan bak gunung es. Artinya, angka yang tersembunyi di bawah permukaan jauh lebih besar ketimbang yang terlihat di permukaan. Data dari International Organization for Migration (IOM) mencatat hingga April 2006 bahwa jumlah kasus perdagangan manusia di Indonesia mencapai 1.022 kasus, dengan rinciannya: 88,6 persen korbannya adalah perempuan, 52 persen dieksploitasi sebagai pekerja rumah tangga, dan 17,1 persen dipaksa melacur (www.bkkbn.go.id).

Sepanjang kasus trafficking mencuat di Indonesia sejak 1993, tahun 2000 merupakan tahun yang paling ramai dengan maraknya kasus ini. Modus tindak pidana trafficking sangat beragam, mulai dari dijanjikan pekerjaan, penculikan korban, menolong wanita yang melahirkan, penyelundupan bayi, hingga memperkejakan sebagai PSK komersil. Umumnya para korban baru menyadari bahwa dirinya merupakan korban trafficking setelah tidak mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi, alias dieksploitasi di negeri rantau.

Definisi Trafficking

Menurut Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) pasal 1 ayat 1, definisi trafficking (perdagangan orang) adalah: “tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.

Ada tiga elemen pokok yang terkandung dalam pengertian trafficking di atas. Pertama, elemen perbuatan, yang meliputi: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan, atau meneirma. Kedua, elemen sarana (cara) untuk mengendalikan korban, yang meliputi: ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. Ketiga, elemen tujuannya, yang meliputi: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, dan pengambilan organ tubuh (Harkristuti Harkrisnowo dikutip dalam www.menkokesra.go.id).

Modus operandi dari tindak pidana trafficking adalah sebagai berikut: (1) merekrut calon pekerja wanita 16-25 tahun; (2) dijanjikan bekerja di restoran, salon kecantikan, karyawan hotel, pabrik dengan gaji RM 500 s/d RM 1.000; (3) identitas dipalsukan; (4) biaya administrasi, transportasi, dan akomodasi ditipu oleh pihak agen; (5) tanpa ada calling visa atau working permit atau menggunakan visa kunjungan singkat; (6) putusnya jaringan; dan (7) korban dijual, disekap, dan dipekerjakan sebagai PSK. Modus yang terakhir sering sekali terjadi. Sedangkan jalur masuk sindikat trafficking adalah sebagai berikut: (1) Medan-Penang/Ipoh-Kuala Lumpur (menurut laporan KBRI di Kuala Lumpur: tertangkap 3 sindikat berjumlah 6 orang dan sudah divonis Pengadilan Negeri Medan dan Tebing Tinggi); (2) T. Pinang/Batam-Staling Laut/Tg. Belungkor-Kuala Lumpur (1 sindikat, 5 orang, sudah divonis Pengadilan Tanjung Pinang); (3) Jakarta-Pontianak-Entikong-Kuching-Kuala Lumpur (tertangkap 1 sindikat, 6 orang (Rizal Cs) proses hukum dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta); dan (4) Nunukan-Tawau-Kota Kinabalu (www.kbrikl.org.my).
Pemecahan Masalah Trafficking

Ada sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah yang amat pelik ini. Menurut laporan Kementerian Koordinator Kesehateraan Rakyat (www.menkokesra.go.id), pencegahan trafficking dapat dilakukan melalaui beberapa cara. Pertama, pemetaan masalah perdagangan orang di Indonesia, baik untuk tujuan domestik maupun luar negeri. Kedua, peningkatan pendidikan masyarakat, khususnya pendidikan alternatif bagi anak-anak dan perempuan, termasuk dengan sarana dan prasarana pendidikannya. Ketiga, peningkatan pengetahuan masyarakat melalui pemberian informasi seluas-luasnya tentang perdagangan orang beserta seluruh aspek yang terkait dengannya. Keempat, perlu diupayakan adanya jaminan aksesibilitas bagi keluarga khususnya perempuan dan anak untuk memperoleh pendidikan, pelatihan, peningkatan pendapatan dan pelayanan sosial. Cara-cara tersebut terkesan sangat ideal, tinggal bagaimana implementasinya secara nyata. Upaya tersebut juga memerlukan keterlibatan seluruh sektor pemerintah, swasta, LSM, badan-badan internasional, organisasi masyarakat, perseorangan, dan termasuk media massa.

Sebagai salah satu bentuk implementasi dari cara-cara tersebut, Tri Astuti mengatakan bahwa langkah yang selama ini baru dilakukan oleh Kantor Pemberdayaan Perempuan Provinsi DIY untuk meminimalisir praktek trafficking adalah dengan mengadakan pelatihan bagi para kepala desa tentang tertib administrasi. Salah satu tujuan utamanya adalah mengantisipasi praktek pemalsuan identitas yang kian marak terjadi dalam hal pengurusan syarat-syarat TKI. Namun, sayangnya mengapa lembaga perempuan tersebut baru melangkah pada tindakan antisipasi yang sifatnya administratif. Padahal, masih banyak bentuk kegiatan lain yang bisa menyentuh masyarakat secara umum, termasuk kaum perempuan di dalamnya yang rentan dengan trafficking.

Masyarakat secara umum sangat rawan menjadi korban trafficking apabila tidak mempunyai bekal pengetahuan yang memadai tentang masalah ini. Untuk itulah, Budi Wahyuni mengusulkan agar dilakukan kampanye (sosialisasi) secara massif untuk menyebarluaskan informasi tentang apa dan bagaimana praktek trafficking yang harus diwaspadai itu. Upaya sosialisasi ini adalah bagian dari program pendidikan yang mampu memberdayakan para calon TKI. Mereka perlu mendapatkan pengetahuan secara komprehensif tentang tawaran kerja di mana dan bagaimana konsekuensinya.

Lebih lanjut, Budi Wahyuni mengatakan bahwa dengan adanya pendidikan (training) tersebut, maka para calon TKI akan merasa aman karena tidak adanya biaya-biaya yang menyusahkan mereka. Umumnya, praktek trafficking bermula dari tindakan tidak bertanggung jawab sejumlah pihak (calo TKI) yang merekrut calon TKI dengan iming-iming tertentu. Tentunya, para calon TKI yang berasal dari pedesaan dan sedang dalam himpitan masalah ekonomi dengan mudahnya menerima tawaran tersebut. Biasanya mereka hanya berpikir bahwa yang penting dapat pekerjaan. Ketika merasa terjepit dalam masalah ekonomi, akhirnya mereka menerima pekerjaan secara asal-asalan. Mereka kurang memerhatikan bagaimana akibatnya kemudian.

Ternyata sosialisasi saja tidak cukup. Andi Akbar dari Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) mengatakan bahwa penanganan masalah trafficking tidak cukup dalam bentuk penyadaran korban maupun pelaku, tetapi harus menembus faktor-faktor penyebabnya. Menurutnya, trafficking dan eksploitasi seks komersial anak antara lain didorong karena faktor kemiskinan, ketidaksetaraan jender, sempitnya lapangan kerja, dan peningkatan konsumerisme. Faktor-faktor seperti inilah yang juga perlu mendapatkan perhatian dan diberantas hingga ke akar-akarnya. Sebab, tanpa memecahkan masalah-masalah semacam itu, upaya penyadaran hanya berfungsi sesaat saja (Kompas, 20/12/2006).

Kita semua sepakat bahwa pemberantasan masalah trafficking memerlukan adanya penegakan hukum yang tegas, apalagi payung hukum berbentuk UU khusus sudah ada. Tanpa penegakan hukum, pemberatasan masalah ini akan sia-sia saja. Sebab, pelaku trafficking akan semakin leluasa saja. Peningkatan kasus trafficking ternyata tidak diimbangi dengan penegakan hukum yang ketat. Pasalnya, hanya kurang dari 1 persen kasusnya yang dibawa ke pengadilan. Menurut Latifah Iskandar, mantan Ketua Panitia Khusus RUU PTPPO, untuk memberi jera pada pelaku perdagangan manusia, UU tersebut meningkatkan sanksi pidana hingga 15 tahun penjara dan denda ratusan juta rupiah (Tempo Interaktif, 2/5/2007).
Ada satu contoh kasus trafficking yang telah diselesaikan secara hukum. Pengadilan Negeri Medan, misalnya menghukum Surya Nilam Panggabean, pelaku kejahatan perdagangan perempuan, dengan pidana penjara selama lima tahun dan denda sebesar Rp 2 miliar subsider tiga bulan kurungan. Surya terbukti memperdagangkan dua perempuan asal Indonesia untuk bekerja sebagai pekerja seks komersial di Malaysia (Kompas, 28/8/2006).

Semua kasus tindak pidana trafficking diharapkan dapat diproses secara hukum dan diberi hukuman yang seberat-beratnya. Hukuman selama lima tahun memang dirasa masih kurang. Sehingga, penambahan masa hukuman penjara selama 15 tahun cukup fair mengingat begitu beratnya kasus kejahatan yang diperbuat oleh para pelakunya. Hal ini dimaksudkan agar para pelaku trafficking yang sudah atau belum tertangkap merasa jera dan tidak mengulangi perbuatan yang melawan hukum itu.
Contoh perdagangan anak
Di Jawa Timur, menurut organisasi buruh internasional, ILO terdapat sekitar empat ribu anak yang dilacurkan di berbagai tempat. Pihak keamanan masih melacak hal ini, dan selama tiga bulan pertama tahun 2005 ini saja kepolisian di Jawa Timur menangani 6 kasus traffiking yang melibatkan 19 orang menjadi korban.
Salah satu korban adalah Lina anak berusia 13 tahun dari Pamekasan, Madura yang dilacurkan di Batam. Di desa pelosok Waru Timur, Pamekasan, Madura inilah Lina kini tinggal. Ia kembali pulang setelah selama 8 bulan di jual di jadikan Pekerja Seks Komersial (PSK) di sebuah lokalisasi di Batam.
Lina gadis berusia 13 tahun putus sekolah sampai kelas 3 SD ini mengenang, pergi ke Batam bersama 4 teman seusianya atas tawaran tetangganya bekerja di pabrik roti. Tapi sesampainya di Batam hanya bohong belaka. Kerjaan di Batam satu bulan dapat gaji 500 ratus ribu jual kue. Sampai di Batam, saya dimasukkan ke dalam tempat perkosaanlah."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar